Rabu, 06 September 2017

"Kasus Terbunuhnya Munir"

(alm) Munir Said Thalib

***
Pada tanggal 07 September 2017 ini, tepat 13 tahun (alm) Munir Said Thalib meninggalkan kita, dengan kematian yang tidak wajar.  Hidupnya dirampas oleh oknum penguasa dan dibungkam demi memerangi kebaikan yang diperbuatnya sewaktu hidup.
Seperti yang saya kutip di Buku, Judul: Menolak Lupa (Jejak-Jejak Penguasa yang Takkan Terlupakan)


Penulis: Faidi A. Luto


"Mereka merebut kuasa, mereka menentang senjata, mereka menembaki rakyat tetapi kemudian bersembunyi di balik ketiak kekuasaan. Mereka gagal untuk Gagah mereka gagah hanya di baju. Tetapi di dalam tubuh mereka ada sesuatu kehinaan". Demikian kata-kata almarhum aktivis kemanusiaan, Munir ketika bertemu di depan Kejaksaan Agung atas putusan bebas kasus Tanjung Priok.

Munir dikenal sebagai aktivis kemanusiaan yang memperjuangkan keadilan ia berdiri menentang kesewenang-wenangan membela rakyat kecil dan pejuang kemanusiaan yang tak kenal lelah.

Pria asal Malang yang bernama lengkap Munir Said Thalib itu namanya semakin dikenal publik setelah menjabat dewan kontras, di mana ia membela para aktivis yang hilang (diculik).
Tetapi Kini kita tidak lagi bisa melihat Munir dengan gagah memperjuangkan keadilan membela hak-hak rakyat kecil yang dipasung. Munir telah dibunuh pada tahun 2004. Siapa pembunuhnya? Adakah permainan politik di balik tewasnya Munir?

Di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 yang ditumpangi, Munir seolah berpamitan kepada kita semua di atas pesawat itu, ia tewas. Kepergiannya menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pasca-sarjana ternyata menjadi "kepergiannya" yang terakhir. Ya, Munir yang aktivis Pro kemanusian itu telah tiada dan kisahnya terajut dalam banyak buku.

Pmbunuhan terhadap Munir termasuk pembunuhan yang canggih dan termasuk yang terbesar dalam sejarah republik ini.
Kategori "canggih" itu ialah kesulitan dalam menentukan Tempatnya Kejadian Perkara (TKP). Tanggal 11 November 2004 keluarganya di Malang mendapatkan informasi dari media Belanda bahwa hasil otopsi Munir yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda membuktikan bahwa ia meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.

Muhammad Taufik, SH., MH, dalam tulisannya yang bertajuk "Misteri Pembunuhan Munir" (Suara Merdeka,07/05/2007 menyebutkan bahwa dalam kasus pembunuhan Munir terdapat beberapa misteri yang selama ini belum berhasil diungkap.

Pertama, Mengapa selama ini pihak kepolisian hanya intens mengarahkan penyelidikannya ke pihak Garuda bukan kepada BIN?

Kedua, Mengapa mayat Munir baru dua bulan dikembalikan pemerintahan Belanda ke Indonesia pada awal November 2004, padahal Ia dibunuh pada penerbangan Jakarta-Amsterdam via Singapura pada 7 September 2004, meski pada waktu itu pemerintahan Belanda berdalih untuk otopsi tetapi Mengapa otopsi begitu lama sampai 2 bulan apakah tidak akan menghilangkan berbagai barang bukti yang seharusnya bisa segenap terungkap?

Ketiga, sesuai dengan ilmu forensik, barang bukti bisa berupa darah maupun organ tubuh. Apa tidak mungkin darah dan organ tubuh Munir telah diganti dengan milik orang lain oleh tim forensik Belanda? Berkaitan dengan pertanyaan itu, seharusnya maka Munir dibongkar kembali tetapi Apakah setelah dua tahun dikubur dan telah dilakukan outopsi total oleh tim forensik Belanda masih bisa lagi diketahui penyebab kematian Munir?

Terdapat banyak permainan politik dalam kasus kematian Munir. Pada 20 November 2004, Suciwati pernah mendapatkan sebuah ancaman. Istri tercinta Munir itu dikirimi sebuah paket bungkusan dengan isi kepala ayam, ceker, kotoran ayam yang sudah busuk, disertai dengan nada ancaman yang isinya, "Awas!!! Jangan libatkan TNI dalam kematian Munir mau menyusul seperti ini"?

Ancaman itu semakin menguatkan bahwa kematian Munir adalah "pesanan" semacam skenario yang dikonsep dengan matang. Itulah sebabnya, lembaga imparsial dan kontras yang didirikan oleh Munir mengutuk ancaman atau teror tersebut. Menyikapi ancaman itu, Imparsial dan kontra serta Suciwati sebagai pihak keluarga Munir mengeluarkan pernyataan pers yang berisi sebagai berikut:

1. Peristiwa tersebut adalah bentuk teror yang ditunjukkan kepada keluarga (alm) Munir dengan tujuan mengancam dan menghambat agar proses pengusutan kematian aktivis HAM Munir yang masih sedang berjalan tidak ditindaklanjuti.

2. Peristiwa tersebut adalah bukti yang memperkuat dan membenarkan dugaan kami bahwa kematian aktivis HAM Munir bukan disebabkan karena kematian yang alami atau hanya sebatas tindak kriminal biasa. Tetapi lebih menjurus pada tindakan pembunuhan yang bermotif politik yang dilakukan oleh orang-orang yang profesional dan terencana.

3. Adanya pesan yang tercantum di dalamnya adalah sebuah pesan yang di satu sisi ingin mendiskreditkan institusi TNI dengan perusahaan melibatkan TNI dalam kematian Munir. Namun, disisi lain,
pesan tersebut sesungguhnya juga ingin menyampaikan dan mengarahkan pemikiran kepada kami bahwa memang TNI terlibat dalam kematian Munir.

Selain poin-poin tersebut, pernyataan pers tertanggal 21 November 2004 itu berisi juga tentang Desakan kepada pemerintah agar serius Menindaklanjuti pelaku teror itu.

Kematian Munir adalah sebuah tragedi. Di tengah bangsa ini membutuhkan sosok yang tulus dan penuh dedikasi dalam memperjuangkan hak asasi, justru Munir "disingkirkan" karena dianggap sebagai duri. Kematian Munir tentu saja menjadi preseden buruk bagi masa depan bangsa ini. Apalagi pengusutan secara hukum terkesan lamban dan tidak benar-benar serius.

Perjuangan atau dedikasi Munir yang begitu besar patut diapresiasi. Mereka yang memiliki jiwa yang bening bersih pasti akan selalu mengenang Munir. Sebelum film dokumenter pernah diluncurkan sebagai bentuk apresiasi penghormatan dan penghargaan atas perjuangan Munir. Film bertajuk "bunga dibakar" karya Raditya adalah salah satu film dokumenter yang dipersembahkan untuk mendiang Munir. Film tersebut diluncurkan di Goethe Institut, Jakarta pada tanggal 8 September 2005.

Film tersebut mengungkapkan tentang pembunuhan Munir di sebuah era bernama demokrasi. Sebuah era yang menjamin kebebasan dan keterbukaan. Selain itu film tersebut juga bercerita tentang masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas.
Juga ditampilkan Munir dibunuh di era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dicita-citakannya mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.

Selain film dokumenter Ratrikala Bhre Aditya itu, Garuda's Deadly Upgrade juga diluncurkan sebagai satu film dokumenter yang dipersembahkan kepada munir. Film tersebut dibuat atas kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Production. His Story (2006) menyusul kemudian sebagai salah satu film dokumenter yang bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan.

Film-film dokumenter itu dibuat sebagai wujud apresiasi dan cinta kita kepada Munir. Dibunuhnya Munir adalah kenyataan yang sulit kita terima, terutama di tengah pincangnya penegakan hukum dan dikebirinya hak-hak asasi manusia di negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar