ilustrasi: Korupsi
***
Sudah delapan belas tahun berjalan sejarah reformasi di Indonesia dengan membawa beberapa agenda yang menjadi cita-cita seluruh bangsa.
Berbagai usaha dan program telah dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi, mulai dari membuat undang-undang anti korupsi sampai mendirikan lembaga dan institusi yang berhubungan dengan kegiatan pemberantasan dan upaya pencegaahan tindakan atau perilaku tersebut, yang dinamakan KPK yaitu Komisi Pembrantasan Korupsi.
Pemberantasan seperti apa yang dimaksud? Dan korupsi seperti apa?
Namun, dalam kenyataannya perilaku korupsi makin marak dan makin beragam bentuknya. Makin banyak para pejabat dan mantan pejabat yang sudah diproses oleh KPK. Untuk kemudian banyak lagi muncul kasus baru.
Bentuk-bentuk perilaku masyarakat yang menyimpang dari norma-norma kepatutan sudah semakin dianggap hal yang wajar.
Mulai dari amuk massa, prilaku agresif dan kekerasan kelompok, penjualan orang, pencurian, prostitusi, fitnah dan kriminalisasi sampai memang perilaku para pemimpin yang korup dan tidak malu merasa diri tidak bersalah di hadapan publik, padahal bukti dan fakta tidak bisa dibantahkan. Lalu sibuk mencari pembenaran dan kambing hitam dengan menyalahkan orang lain.
Pertanyaannya, apakah perilaku korupsi di Indonesia ini sudah menjadi penyakit yang sangat kronis sehingga juga membutuhkan penanganan yang sangat intensif dan memerlukan sistem perawatan serta pengobatan dengan dosis yang lebih dari tindakan setengah-setengah?
Jawabannya tentu saja “iya!” kalau semua pihak menganggap bahwa fenomena korupsi ini sudah menjadi penyakit sosial atau perilaku sosiopatik yang mengkhawatirkan karena mengakibatkan kondisi keuangan negara dalam keadaan gawat darurat.
Dalam kajian Patologi Sosial, perilaku korupsi termasuk suatu tindakan atau perilaku yang menyimpang atau deviasi sama dengan tindakan kriminal lainnya seperti; perjudian, pelacuran, perkosaaan, pencurian, pembunuhan dan lain lain.
Bahkan dalam pembahasan kesehatan mental dan Psikologi perilaku tersebut termasuk dalam mental yang tidak sehat dan perilaku menyimpang dan gangguan-gangguan kontrol diri.
Kehidupan masyarakat modern yang sangat kompleks telah menumbuhkan aspirasi-aspirasi materil yang tinggi dan sering disertai oleh ambisi-ambisi sosial yang tidak sehat.
Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan materil kekayaan dan barang-barang mewah tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan wajar, mendorong individu untuk melakukan kriminal.
Korupsi
Secara bahasa, kata “korupsi” berasal dari kata corruptio (Latin) kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Kata ini sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filosof Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione.
Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi yang ditempatkan dalam konteks filsafat alamnya lebih berarti perubahan, perubahan dalam artian negatif, perubahan ke arah kerusakan atau pembusukan.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele hingga berat, terorganisasi dan tidak terorganisasi.
Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, prostitusi dan korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja.
Berdasarkan pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu dari pihak penguasa atau pejabat Negara perilakunya bisa berupa:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan, HS Dillon mengatakan, “Corruption is stealing from the poorkarena koruptor tak bisa mencuri dari orang kaya. Koruptor membuat rakyat tak pernah bisa beranjak dari kondisi kemiskinannya karena apa yang seharusnya menjadi milik mereka justru dicuri.”( Kompas, 2011).
Korupsi dalam artian lebih besar bukan hanya korupsi duit, tetapi ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat.
Faktor penyebab
a. Korupsi dalam pandangan Sosial budaya
Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya, artinya bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.
Secara historical sisa -sisa budaya dalam sistem feodal yang menganggaap, menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk itu rakyat sendiri harus berkorban dan menderita, tidaklah merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas tidak dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi karna dianggap “wajar”.
Artinya, kebudayaan bangsa Indonesia dewasa ini masih belum berubah ke arah menolak sama sekali sistem.
b. Korupsi dalam pandangan Politik
Pada umumnya korupsi dimasukkan orang sebagai masalah politik karena menyangkut penyalahgunaan (misuse) kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah telah merumuskan UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu unsur penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi, unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.
Kalau terjadi tindak korupsi, pelakunya langsung bisa dijerat dengan tuduhan atas empat unsur tersebut. Adapun pengertian lain tentang korupsi dirumuskan oleh Robert Klitgaard.
Klitgaard merumuskan bahwa korupsi terjadi karena kekuasaan dan kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas (pertanggung jawaban), sehingga dapat dirumuskan:
C = M + D – A
Corruption = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas.
c. Korupsi dalam pandangan Psikologi
Secara umum munculnya perilaku dalam teori psikologi adalah hasil fungsional antara faktor personal yang bersifat internal dengan faktor enveronmental yang bersifat ekternal, dengan rumus B=f ( P x E).
Faktor personal sebagai atribut individual terdiri dari; kognitif, affektif, personality, sikap, belif, motivasi, sosial skill dan lain-lain sedangkan faktor eksternal, adalah lingkungan sosial, budaya, agama, pendidikan, gaya hidup dan yang lainnya.
Teori ini bisa dipakai dalam memahami perilaku korupsi, salah satu atribut individualnya adalah masalah motivasi. (Djamaludin ancok, 2004) merujuk pada teori motivasi berprestasi dari Mc Clelland, motivasi berprestasi adalah dorongan pada individu untuk meningkatkan prestasi kerjanya karena individu yang memiliki motivasi berprestasi yan tinggi akan selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya dengan meletakkan standar yang tinggi pada kualitas hasil pekerjaannya.
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi suka dengan tantangan dan tidak puas dengan hasil kerjanya yang setengah-setengah atau mutu yang rendah, disamping itu mereka mengunakan cara-cara yang a-moral atau jalan pintas dalam mencapai tujuannya.
Penelitian yang menghubungakan antara motivasi berprilaku a-moral (mencuri, menipu, dll) dengan motivasi berprestasi, melihatkan hubungan negatif. Artinya individu yang motivasi berprestasinya tinggi tidak menyukai perbutan yang a-moral (Djamaludin ancok, 2004).
Sebaliknya individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah, akan bekerja asal jadi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar dengan bekerja santai, malas-malasan tetapi tetap menerima gaji yang besar, kalaupun gajinya kecil mereka menjadiikannya alasan untuk malas bekerja dan melakukan pembenaran untuk menggunakan wewenangnya dalam mendapatkan uang tambahan, pelicin suap dan sebagainya.
Penyebab dari faktor eksternal salah satunya adalah berdasarkan perhitungan pendekatan rasional-analitis, tindakan korupsi tersebut adalah hasil dari realisasi keputusan yang telah diambil berdasarkan pada faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan tersebut seperti rumus tindakan kejahantan yang telah di paparkan sebelumnya yaitu, SU=
Dalam rumus ini SU (Subjective Utility), yaitu pertimbangan pelaksanaan pelaku korupsi dilakukan atau tidak tergantung dari p(S) (Probability of Success) sejauh mana kemungkinan akan keberhasilannya ditambah faktor G (Gain) yaitu besar atau kecilnya keuntungan yang akan diperoleh kemudian pertimbangan p(F) (Probability of Fail) yaitu besar atau kecilnya kemungkinan akan kegagalan dan factor L (Loss) yaitu besar atau kecilnya kerugian yang akan di terima jika tertangkap atau diketahui.
Jika kemungkin besar berhasil lebih tinggi dari kemungkinan gagal, karena kekuasaan dan wewenangnya, kemudian di tambah dengan kemungkinan mendapatkan keuntungan yang besar dari kerugian, karena korupsinya milyaran, hukumamnya hanya, 2 sampai 7 tahun dan akan banyak lagi potongan remisi segala macam serta fasilitasnya berbeda dengan napi lain kalau ketangkap, maka kemungkinan untuk korupsi akan semakin besar pada diri individu.
Selain faktor di atas banyak lagi aspek psikologis yang menyebabkan seseorang untuk melakukan korupsi, personality yang tidak sehat, tidak mandiri, lokus of control terhadap prilaku yang rendah, ketidak matangan emotional, proses berfikir jangka pendek, pengaruh kelompok sosial, gaya hidup yang hedonism dan lain sebagainya mendorong seseorang untuk berprilaku menyimpang dan menghalakan segala cara.
d. Korupsi Sebagai Patologi Sosial
Indonesia termasuk memiliki sumber daya alam yang kaya, tetapi karena pemerintahannya tidak dapat mengelolanya dengan sistem manajemen yang baik sehingga keuntungan dari kekayan itu hanya sedikit yang dapat dinikmati oleh rakyat.
Pemerintah justeru memperbanyak hutang untuk pembanggunan dan mencukupi pemasukan negara sehingga rakyat pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Kemiskinan yang berkepanjangan menumpulkan kecerdasan dan kreatifitas bahkan menimbulkan sikap-sikap hopless putus asa sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk mengatasi ersoalanya dengan perilaku menyimpang dan menghalalkan segala cara, mencuri, merampok, berjudi masuk terjerembap dalam kurungan keyakinan mistik, fatalism dan lain-lain.
Kepercayaan terhadap pentingnya nilai-nilai prestasi, kerja keras, kejujuran, dan keterampilan, kecerdasan semakin memudar karena kenyataan yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi tetap saja miskin dan menjadi orang pinggiran hanya karena mereka datang dari kelompok keluarga yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, pedangan kecil dan pegawai rendahan.
Sementara itu, banyak yang mendapatkan kekayaan dengan mudah aman walau tidak jujur, kerja santai, tidak kreatif karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, muncul keyakinan pada masyarakat bahwa tidak perlu jujur, karena orang jujur tidak akan mujur, tidak perlu pandai karena yang dibutuhkan berpandai-pandai, tidak perlu kerja keras karena dengan jalan korupsi kolusi dan nepotisme, meyuap, menjilat lancar semua urusan.
Kepercayaan terhadap pentingnya kecerdasan intelektual pun menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja. Pengaruh media dan gaya hidup yang materialistis berlebihan sebaliknya, menjadikan masyarakat menjadi lebih percaya adanya peruntungan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif terhadap penyimpangan sehingga perdukunan, perjudian, kejahatan dan perilaku menyimpang lainnya dalam berbagai bentuk semakin marak di mana-mana.
Disamping itu persoalan penegakan hukum yang tidak tegas, pandang bulu, tebang pilih makin menjadi reinforcement penguatan perilaku menyimpang tersebut karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan. Mencuri miliaran s/d triliunan hanya dihukum beberapa tahun saja, bahkan banyak kasus besar yang merugikan negara hingga triliunan dan hingga kini masih tidak jelas penyelesaiannya, ataupun sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara.
Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman karena dipenjara juga bias hidup enak dengan fasilitas yang elit, dan akan mendapatkan remisi pada setiap hari besar agama dan kenegaraan, apa lagi kalau tidak terbukti di persidangan atau malah tidak ketauan maka beruntunglah orang-orang seperti itu.
Dalam tinjauan Psikologi, seorang pemimpin dan pejabat yang, menghalalkan segala cara, dan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok (Keluarga, suku, klan, Partai)nya, adalah termasuk kedalam kategori orang yang sakit secara mental.
Banyak pemimpin yang abnormal pembawa bibit penyakit mental, seperti sikap tidak jujur, korup, tidak pernah puas dengan kekayaan, mereka bahkan menularkan penyakit sosial ini kebawahan dan bahkan ke lingkungan sekitarnya.
Pemimpin-pemimpin yang sakit secara sosial itu adalah cerminan dari masyarakat yang tengah sakit pula. Kenapa? Karna mereka hadir dan muncul serta dipilih oleh masyarakat yang sangat pragmatis dan bahkan oportunis.
Akhirnya sikap-sikap seperti di atas yang memperparah korupsi sebagai pathology sosial, pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terdistorsi. dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai pathology sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat, saat ini masyarakat merasa orang tidak mungkin eksis kalau terlalu jujur.
PENUTUP
Kartono (1997) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Kalau dahulu, masyarakat melihat dan menilai perilaku menyimpang seperti korupsi dari sudut pandang moralitas, yang bertentangan dengan nilai-nilai norma dan Agama saja.
Akan tetapi saat ini para Psikolog sosial menyebut perbuatan korupsi dan berbagai penyimpangan sejenisnya sebagai Patologi Sosial.
Korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya, muncul dari kebiasaan yang salah dari seorang individu, yang mana kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan dianggap sebagai suatu yang lumrah dan akhirnya menjadi budaya buruk yang tumbuh di masyarakat.
Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat bersikap hopless, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari bahwa sebenarnya uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada haknya didalam yang hilang akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar