[Penulis: Dodi Abdullah]
Ilustrasi: NET*
***
PROLOG
Di Indonesia banyak sekali cerita perihal asal-muasal terbentuk dan berdirinya suatu daerah, di mana setiap daerah memiliki sejarah atau ceritanya masing-masing, yang sampai saat sekarang masih menarik untuk diperbincangkan.
Berkaitan dengan judul yang saya paparkan di atas “Sungai Kambut: Kudengar dan Kutulis Ceritamu”, saya mengajak pembaca untuk berbicara sedikit tentang sebuah daerah yang dinamakan Sungai Kambut melalui beberapa alur cerita pendek; diawali dengan sejarah (yang saya rasa lebih tepatnya dongeng) dari penuturan nenek, kekhasan, hingga obrolan-obrolan saya dengan beberapa orang mengenai kampung halamanku — yang — secara geografis terletak di pulau paling barat Indonesia — Pulau Sumatra — , tempatnya di Provinsi Sumatra Barat, Kabupaten Dharmasraya, Kecamatan Pulau Punjung, Kenagarian Sungai Kambut.
Sangat detail sekali penyebutan alamatnya, kan?
Cerita Dari Nenek
Langsung saja, nama Sungai Kambut berasal dari dua suku kata “sungai” dan “gambuik” (gambut)*.
Konon, ada sebuah sungai yang dibantarannya terdapat lahan pertanian milik warga. Warga setempat selain bertani juga hobi berternak. Untuk kebutuhan makanan ternak-ternaknya, petani di daerah itu memberi makan mereka (ternaknya) dengan rumput gambut.
Adakalanya rumput gambut di sekitaran lahan mereka habis. Saat kehabisan rumput gambut di sekitar lahan mereka itulah, dari kejauhan mereka melihat ada lahan rumput gambut yang lain — kebetulan — lahan rumput gambut yang mereka lihat tersebut berada di seberang — dibela oleh sungai tadi.
Karena, lahan rumput yang satu tidak bisa dilewati dengan berjalan kaki menuju lahan di seberangnya, maka atas inisiatif mereka dibangunlah sebuah jembatan kecil seukuran jalan setapak dari sebilah papan.
Jembatan sederhana sepanjang tiga meter yang menghubungkan dua daerah itu tampak terbentang gagah di atas sungai. Setiap hari warga dan para petani yang sekalian mengambil gambut sudah bisa melewati sungai berkat bantuan jembatan itu.
Anehnya, setiap kali menginjakan kaki di atas jembatan saat membawa gambut, Gambut yang mereka bawa— selalu jatuh ke sungai dengan sendirinya — kejadian itu terjadi berulang-ulang. Tak ayal kejadian aneh itu memunculkan keheranan petani.
Dari rasa penasaran jatuhnya gambut ke sungai setiap kali melewati jembatan itulah, sesuai dengan tradisi orang-orang dulu, tercetus nama Sungai Gambut (Sungai Gambuik: dalam pengucapan Minang) untuk menamai daerah sekitar ladang mereka yang juga ditumbuhi rumput gambut pada dua sisi yang terpisah itu.
Begitulah cerita yang saya dengar langsung dari penuturan nenek. Cerita beliau amat panjang, tapi untuk kepentingan penulisan ini saya singkat saja.
"Sungai Gambut yang Khas"
Selain tempat berladang daerah sekitar bantaran sungai — Sungai Gambuik — juga merupakan tempat janjian masyarakat dengan masyarakat yang datang dari luar daerah. Seperti janjian bertemu, jual-beli, dsb.
Mengapa warga saat itu lebih memilih bertemu di Sungai Kambuik? Alasannya, mudah ditemukan! daerah itu sudah diketahui masyarakat luas lewat cerita Gambut yang jatuh ke sungai dan ditambah dengan adanya ikon jembatan dari sebilah papan tadi, sehingga para pedagang atau kerabat jauh yang ingin bertemu masyarakat sekitar tidak tersesat. Disepakatilah, mereka bertemunya di Sungai Gambut.
Nama Sungai Gambuik seiring berjalannya waktu mengalami perubahan. Masyarakat mengubah nama dari Sungai Gambuik menjadi Sungai Kambuik, tanpa alasan yang begitu jelas.
Sungai Kambut Dulu dan Kini (catatan seputar obrolan)
Daerah Sungai Kambut yang ditempati masyarakat saat ini bukanlah daerah Sungai Kambut yang ditempati masyarakat dahulu. Kabarnya, “dulu Sungai Kambut terletak di daerah Sungai Kilangan,” begitu kata masyarakat pribumi yang sering saya ajak ngobrol mengenai sejarah Sungai Kambut.
“Daerah sekarang merupakan daerah perluasan wilayah yang terjadi akibat aktivitas berladang, mereka yang memiliki hasrat untuk meluaskan ladang sedangkan lahan sudah penuh terpaksa membuat lahan baru di seberang sungai. Lahan baru inilah yang menjadi cikal bakal Sungai Kambut sekarang.” imbuh kata seorang warga yang saya ajak ngobrol di warung kopi.
“Begitulah, dengan adanya inisiatif memperluas lahan perladangan, mereka yang dari seberang sungai Batanghari (tempat asal), lama-kelamaan betah bermukim di daerah baru (Sungai Kambut sekarang) hingga bercucu-cucu. Maka lahirlah suatu pemukiman baru, daerahnya ya ini, Sungai Kambut yang sekarang ini.” seorang Bapak di warung itu menimpali.
Saya kembali mendengar seorang bapak berujar “Maka jangan heran, kalau pada umumnya masyarakat Sungai Kambut banyak memiliki lahan perkebunan baik itu perkebunan sawit atau getah di daerah Sungai Kilangan itu, ya, itu daerah asalnya, lho”.
SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE 7 NAGARI SUNGAI KAMBUT!
(Saya tulis ucapan singkat ini tepat di hari ulang tahun Sungai Kambut yang ke-7 di sebuah buku saku pengingat, November 2016)
isinya:
“Terlepas dari ekspektasi dan eksistensi Sungai Kambut serta mimpi-mimpinya, selamat ulang tahun kuucapkan Nagari Sungai Kambut, nagari kebanggaanku, tempat tumbuh, ceritaku tentang hidup menyatu dengan anggun alammu” — Dodi Abdullah, Sungai Kambut 2016
Wilayah Geografis Nagari Sungai Kambut
Nagari Sungai Kambut berasal dari sebagian wilayah Nagari IV Koto Pulau Punjung yang terdiri atas:
a. Jorong Koto Lamo;
b. Jorong Sungai Nili;
c. Jorong Muaro Mau;
d. Jorong Muaro Momong;
e. Jorong Lambau; dan
f. Jorong Sungai Kambut Dua.
Nagari Sungai Kambut mempunyai jumlah penduduk sebanyak 5.538 jiwa dan luas wilayah 85,44 Km2 dengan Pusat Pemerintahan Nagari terletak di Sungai Kambut.
Nagari Sungai Kambut mempunyai batas wilayah:
Sebelah Utara berbatas langsung dengan Nagari IV Koto Pulau Punjung;
Sebelah Selatan berbatas langsung dengan Kabupaten Solok Selatan;
Sebelah Barat berbatas langsung dengan Nagari Koto Nan IV Dibawuah Kecamatan IX Koto;
Sebelah Timur berbatas langsung dengan Nagari Sungai Dareh Kecamatan Pulau Punjung.
Kupersembahkan catatan kecil ini untukmu Sungai Kambut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar